Rerintik
hujan menderu dikala siang itu. Jilbabku menari mengikuti arah angin berlari. Aku
menghirup udara dalam-dalam, lalu kuhempaskan dengan keras. Mataku berkeliling,
menatap setiap titik air yang jatuh bersahutan. Sesekali aku memejamkan mata, membayangkan
sesuatu yang membuatku bisa bahagia. Meskipun hanya khayalan belaka, setidaknya
itu mampu membuat pikiranku terasa lebih segar.
“Fin,
ayo lari bareng.”
“Ayo!
Satu, dua, tiga!”
Selalu
saja dua orang gadis itu yang kulihat, setiap kali aku memandang suasana lantai
bawah. Kali ini mereka berpegangan tangan, berlari dengan hati-hati. Mulut
mereka menganga dan mengeluarkan suara tawa. Matanya tersenyum sebentuk bulan
sabit. Raut wajah mereka tidak dapat menipuku, aku tahu bahwa mereka sedang
bahagia.
Aku
ingin seperti mereka, tetap bersama walaupun hujan menerjang dengan kencang. Angin
yang terus berhembus pun tetap tidak dapat menggoyahkan kebahagiaan mereka, atau
mungkin lebih tepatnya persahabatan mereka. Bahkan persahabatan merekalah yang
mampu menaklukan angin dan hujan. Aku jadi teringat bahwa aku pernah mengalaminya.
***
“Indah,
mau jajan itu nggak?” ajak Alya, seorang gadis ceria yang menjadikan hidupku
lebih berwarna.
“Mau!
Tapi aku nggak bawa uang, Ya. Tadi aku keburu-buru jadi lupa deh bawa uang
saku.”
“Ya
udah pake uangku dulu aja, Ndah. Tapi besok kalo aku yang enggak bawa kamu ya
yang nraktir aku,” Alya menjulurkan lidahnya.
“Siap!”
jawabku sembari mengacungkan ibu jari.
Kami
kembali menyusuri jalan usai berhenti di sebuah warung untuk membeli jajan. Di
sepanjang jalan, selalu ada canda gurau yang menghiasi. Suasana yang sebenarnya
sunyi seketika berubah menjadi riuh. Riuh akan suara tawa kami. Aku jadi merasa
bahwa dunia ini tak pernah sepi.
“Wah,
Indah sama Alya udah sampai ya. Sini ambil nasi, makan siang dulu,” suara
lembut Tante Nurma menyambut kedatangan kami. Tante Nurma adalah sosok yang
paling berjasa dalam hidup Alya. Dia yang mengarungi kehidupan keluarganya
dengan banting tulang, sendirian.
“Oke,
Tante,” sahutku dengan tersenyum. Tante Nurma pun kemudian memberikan kami
berdua sepiring nasi yang porsinya cukup banyak. Aku dan Alya memang terbiasa
makan sepiring berdua, kami merasa menjadi semakin dekat ketika makan bersama
dengan sebuah piring saja.
“Ayo,
Ndah, kita keluar, main kejar-kejaran. Ngajak Hana sama Ima juga.”
“Ayo!
Tapi nanti yang ketangkap harus pijet punggung yang menang lho ya.”
“Boleh,
siapa takut. Paling juga aku yang menang,” Alya menjulurkan lidahnya
panjang-panjang, meledekku karena aku yang biasa kalah lari darinya.
Langkah
kaki kami terus terhentak, dan sesekali berhenti setelah sampai di depan rumah
yang kami tuju. Setelah semuanya berkumpul, kami berempat hompimpa untuk menentukan siapa yang akan menjadi kucing dan
tikusnya.
“Yes! Aku jadi kucing,” ucapku dengan
puas.
“Kita
satu tim, Ndah,” sahut Ima. Aku dan Ima lalu memulai lari dengan hitungan,
“Satu, dua, tiga, lari!” teriak kami serempak. Kami terus berlari dengan sekuat
tenaga untuk mengejar Alya, si pelari cepat.
“Hayoo,
Alya mau ke mana? Kamu udah nggak bisa lari lagi. Udah nyerah aja,” kataku
menghasutnya. Alya sudah mulai terlihat lelah, terlebih ketika dia sudah berada
di dalam kepunganku dan Ima. Kemudian aku melangkahkan kaki beberapa meter dari
arah belakangnya. Dia membalik badan.
“Brukk!”
Alya menangis dengan sangat kencang. Dia terjatuh karena terkejut sesaat tahu
bahwa aku mendekatinya diam-diam. Jidatnya luka, darahnya berkucur tiada henti.
Tanganku seketika gemetaran. Kakiku kaku, seperti tidak mampu lagi diampu.
Pikiranku buyar, melihat kondisi Alya yang membuat hatiku miris. Tante Nurma
segera membawanya ke dokter, sedangkan aku tidak dapat berkutik. Tubuhku roboh,
tulang-tulangnya seperti sudah remuk dan rapuh.
Detik
demi detik. Menit demi menit. Jarum jam berputar hingga waktu sudah berlalu
satu jam. Alya beserta Tante Nurma tiba di rumah mereka. Aku bergegas
menghampirinya. Tetapi di sisi lain aku juga ragu, aku takut Alya tidak mau
lagi menerimaku sebagai temannya karena kesalahan fatalku tadi.
“Indah,
sini masuk kenapa kamu di luar sendirian gitu?” matanya tersenyum ke arahku.
Wajahnya kembali berbinar, disertai bibir manisnya yang melengkung ke atas. Dia
tetap cantik, walau terdapat jahitan di jidatnya. Aku lalu berlari memeluknya.
“Maaf
ya, aku tadi enggak sengaja bikin kamu kaget kayak gitu,” air mataku terjatuh.
Alya kemudian menyahut, “Iya, enggak apa-apa kok, lihat deh aku baik-baik aja,”
dia mengelus punggungku dengan halus.
***
Yogyakarta,
27 Mei 2006
“Gempa!
Gempa!” suara gaduh terdengar jelas dari kamarku. Lemari, meja, dan seluruh
benda di kamarku bergoyang dengan kencang. Tubuhku juga tidak seimbang, seperti
terseret ke arah kanan dan kiri, terombang-ambing. Aku dan anggota keluarga
yang lain tetap berjalan ke luar rumah meski sebenarnya masih menyimpan rasa
panik. Suasana luar tampak kacau, bangunan runtuh dan beberapa jalanan tertutup
tembok-tembok besar. Orang-orang panik, banyak suara tangis, dan teriakan minta
tolong.
Beberapa
jam terlewati tanpa terasa. Keadaan perlahan kembali normal, walaupun
suasananya masih berantakan. Rasanya hatiku sudah menuju pulih, meski belum
seutuhnya. Tante Nurma, Alya, dan Kak Mala, kakak kandung Alya, tiba-tiba
datang menghampiriku. Tangan mereka menggenggam tas-tas yang tampak berat. Raut
muka Alya seperti sedang memendam sesuatu.
“Indah,
aku mau pamit sama kamu. Aku, Mama, dan Kak Mala mau balik ke Kalimantan. Kamu
baik-baik ya di Jogja.” Mataku tidak bisa menahan tangis. Hatiku rasanya sudah
terpecah belah menjadi kepingan-kepingan kecil. Aku harus kehilangan Alya,
seorang teman baik yang selalu menemaniku setiap pulang dari TK. Orang yang
membuat hidupku tidak terasa hampa. Menghiasi setiap detik waktu yang berjalan.
Memberikan sejuta kenangan yang tidak mungkin aku lupakan begitu saja.
Tidak
hanya aku, Alya pun tidak dapat memendam kesedihannya dalam-dalam. Dia ikut
meluapkan emosi yang sedang bergejolak dalam dirinya. Pipinya basah, sama
sepertiku. Kami berpelukan dan tidak ingin terlepas. Kita memang tidak berpisah
untuk selamanya, tapi karena suatu hal yang sudah biasa kami lakukan bersama setiap
harinya, justru menjadi suatu hal yang begitu berharga, maka kami sama-sama
sulit untuk melepaskannya. Kami harus mengubah kebiasaan hidup kami nantinya.
“Kamu
jangan sedih, Ndah. Aku janji kok, besok waktu kita sama-sama udah SMA atau
kuliah, aku bakal balik ke Jogja lagi buat ketemu kamu.” Kelingking Alya
diajukan ke arahku, aku pun menyatukan kelingkingku dengannya.
“Janji
ya, kamu jangan lupain aku. Walaupun kamu udah banyak temen baru di sana.” Dia
mengangguk. Kami saling mengusap pipi kami yang basah. Lalu dia melambaikan
tangan, aku juga membalasnya dengan masih berat hati. Alya dan keluarganya masuk
ke dalam mobil kemudian pergi.
Sejak
saat itu, aku hilang kontak dengan Alya. Nomor telepon yang pernah diberikan
Tante Nurma kepada mamaku tidak bisa dihubungi lagi. Sampai saat ini aku masih
mengingat janji Alya. Aku terus menunggu datangnya di hadapanku. Entah dia
masih mengingat janji itu, atau sudah lupa akan segala yang pernah kami lewati
bersama.
Bagaimana
wajah Alya sekarang? Seberapa tinggi badan dia sekarang? Apa dia lebih tinggi
dariku? Bagaimana keadaan sekolahnya di sana? Bagaimana teman-temannya di sana?
Apa mereka mampu membuat Alya bahagia? Aku hanya berharap waktu akan menjawab
semua pertanyaan yang terus muncul dari pikiranku. Aku masih menunggu
kehadiranmu di Jogja, Alya.
By: Anggita Nurindah K.
(Based on true story)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar