Anggita Nurindah Kusuma

TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR =)

Rabu, 23 Juni 2021

UAS TI

 https://drive.google.com/drive/folders/1YfKBpjmdt2LnNQtjQzGftrq_vYRI03SA?usp=sharing

Selasa, 04 Mei 2021

Cara Mencegah Covid-19 di Area Publik

 Pencegahan Covid-19 di area publik perlu dilakukan oleh masyarakat melalui beberapa cara, yaitu:

1. Di transportasi publik misalnya, bila kondisi tidak sehat, jangan mengemudikan kendaraan dan segera periksa ke fasyankes. Bagi penumpang yang demam, batuk atau flu, menggunakan masker, ukur suhu 2x sehari sebelum dan sesudah mengemudi. Bila penumpang dengan gejala mirip flu, sarankan untuk mengenakan masker. bila tidak memiliki masker, berikan masker.

2. Di instansi pendidik dilakukan melalui berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat, kegiatan belajar melalui online, memberi tugas para siswa/siswi yang beragam, agar tidak bosan di rumah, menyediakan sarana cuci tangan menggunakan air dan sabun atau handsanitizer di sekolah, menghimbau warga sekolah yang sakit untuk mengisolasi diri di rumah, melapor ke puskesmas terdekat tentang kondisi Anda, dan membersihkan sekolah.

3. Di Kegiatan Keagamaan dilakukan dengan Menjaga kebersihan dan lingkungan tempat ibadah, menyediakan tempat cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau handsanitizer, kegiatan agama melalui online, mengimbau umat untuk memperhatikan informasi dan panduan resmi dari pemerintah, mendorong umat untuk mendukung himbauan pemerintah dalam menerapkan social distancing.

4. Di Pusat Perbelanjaan dilakukan dengan pemeriksaan/ skrining pengunjung suhu tubuh sebelum memasuki area perbelanjaan, Menjaga jarak minimal 1-2 meter dengan orang lain saat berbelanja, menunda berbelanja bila sedang kurang sehat, bagi pemilik usaha agar menyediakan tempat cuci tangan dengan air dan sabun atau hand sanitizer, menjaga kebersihan dan lingkungan tempat perbelanjaan.

Sumber: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/

Selasa, 15 Maret 2016

Janji yang Tak Kunjung Terjadi


Rerintik hujan menderu dikala siang itu. Jilbabku menari mengikuti arah angin berlari. Aku menghirup udara dalam-dalam, lalu kuhempaskan dengan keras. Mataku berkeliling, menatap setiap titik air yang jatuh bersahutan. Sesekali aku memejamkan mata, membayangkan sesuatu yang membuatku bisa bahagia. Meskipun hanya khayalan belaka, setidaknya itu mampu membuat pikiranku terasa lebih segar.
“Fin, ayo lari bareng.”
“Ayo! Satu, dua, tiga!”
Selalu saja dua orang gadis itu yang kulihat, setiap kali aku memandang suasana lantai bawah. Kali ini mereka berpegangan tangan, berlari dengan hati-hati. Mulut mereka menganga dan mengeluarkan suara tawa. Matanya tersenyum sebentuk bulan sabit. Raut wajah mereka tidak dapat menipuku, aku tahu bahwa mereka sedang bahagia.
Aku ingin seperti mereka, tetap bersama walaupun hujan menerjang dengan kencang. Angin yang terus berhembus pun tetap tidak dapat menggoyahkan kebahagiaan mereka, atau mungkin lebih tepatnya persahabatan mereka. Bahkan persahabatan merekalah yang mampu menaklukan angin dan hujan. Aku jadi teringat bahwa aku pernah mengalaminya.
***
“Indah, mau jajan itu nggak?” ajak Alya, seorang gadis ceria yang menjadikan hidupku lebih berwarna.
“Mau! Tapi aku nggak bawa uang, Ya. Tadi aku keburu-buru jadi lupa deh bawa uang saku.”
“Ya udah pake uangku dulu aja, Ndah. Tapi besok kalo aku yang enggak bawa kamu ya yang nraktir aku,” Alya menjulurkan lidahnya.
“Siap!” jawabku sembari mengacungkan ibu jari.
Kami kembali menyusuri jalan usai berhenti di sebuah warung untuk membeli jajan. Di sepanjang jalan, selalu ada canda gurau yang menghiasi. Suasana yang sebenarnya sunyi seketika berubah menjadi riuh. Riuh akan suara tawa kami. Aku jadi merasa bahwa dunia ini tak pernah sepi.
“Wah, Indah sama Alya udah sampai ya. Sini ambil nasi, makan siang dulu,” suara lembut Tante Nurma menyambut kedatangan kami. Tante Nurma adalah sosok yang paling berjasa dalam hidup Alya. Dia yang mengarungi kehidupan keluarganya dengan banting tulang, sendirian.
“Oke, Tante,” sahutku dengan tersenyum. Tante Nurma pun kemudian memberikan kami berdua sepiring nasi yang porsinya cukup banyak. Aku dan Alya memang terbiasa makan sepiring berdua, kami merasa menjadi semakin dekat ketika makan bersama dengan sebuah piring saja.
“Ayo, Ndah, kita keluar, main kejar-kejaran. Ngajak Hana sama Ima juga.”
“Ayo! Tapi nanti yang ketangkap harus pijet punggung yang menang lho ya.”
“Boleh, siapa takut. Paling juga aku yang menang,” Alya menjulurkan lidahnya panjang-panjang, meledekku karena aku yang biasa kalah lari darinya.
Langkah kaki kami terus terhentak, dan sesekali berhenti setelah sampai di depan rumah yang kami tuju. Setelah semuanya berkumpul, kami berempat hompimpa untuk menentukan siapa yang akan menjadi kucing dan tikusnya.
Yes! Aku jadi kucing,” ucapku dengan puas.
“Kita satu tim, Ndah,” sahut Ima. Aku dan Ima lalu memulai lari dengan hitungan, “Satu, dua, tiga, lari!” teriak kami serempak. Kami terus berlari dengan sekuat tenaga untuk mengejar Alya, si pelari cepat.
“Hayoo, Alya mau ke mana? Kamu udah nggak bisa lari lagi. Udah nyerah aja,” kataku menghasutnya. Alya sudah mulai terlihat lelah, terlebih ketika dia sudah berada di dalam kepunganku dan Ima. Kemudian aku melangkahkan kaki beberapa meter dari arah belakangnya. Dia membalik badan.
“Brukk!” Alya menangis dengan sangat kencang. Dia terjatuh karena terkejut sesaat tahu bahwa aku mendekatinya diam-diam. Jidatnya luka, darahnya berkucur tiada henti. Tanganku seketika gemetaran. Kakiku kaku, seperti tidak mampu lagi diampu. Pikiranku buyar, melihat kondisi Alya yang membuat hatiku miris. Tante Nurma segera membawanya ke dokter, sedangkan aku tidak dapat berkutik. Tubuhku roboh, tulang-tulangnya seperti sudah remuk dan rapuh.
Detik demi detik. Menit demi menit. Jarum jam berputar hingga waktu sudah berlalu satu jam. Alya beserta Tante Nurma tiba di rumah mereka. Aku bergegas menghampirinya. Tetapi di sisi lain aku juga ragu, aku takut Alya tidak mau lagi menerimaku sebagai temannya karena kesalahan fatalku tadi.
“Indah, sini masuk kenapa kamu di luar sendirian gitu?” matanya tersenyum ke arahku. Wajahnya kembali berbinar, disertai bibir manisnya yang melengkung ke atas. Dia tetap cantik, walau terdapat jahitan di jidatnya. Aku lalu berlari memeluknya.
“Maaf ya, aku tadi enggak sengaja bikin kamu kaget kayak gitu,” air mataku terjatuh. Alya kemudian menyahut, “Iya, enggak apa-apa kok, lihat deh aku baik-baik aja,” dia mengelus punggungku dengan halus.
***
Yogyakarta, 27 Mei 2006
“Gempa! Gempa!” suara gaduh terdengar jelas dari kamarku. Lemari, meja, dan seluruh benda di kamarku bergoyang dengan kencang. Tubuhku juga tidak seimbang, seperti terseret ke arah kanan dan kiri, terombang-ambing. Aku dan anggota keluarga yang lain tetap berjalan ke luar rumah meski sebenarnya masih menyimpan rasa panik. Suasana luar tampak kacau, bangunan runtuh dan beberapa jalanan tertutup tembok-tembok besar. Orang-orang panik, banyak suara tangis, dan teriakan minta tolong.
Beberapa jam terlewati tanpa terasa. Keadaan perlahan kembali normal, walaupun suasananya masih berantakan. Rasanya hatiku sudah menuju pulih, meski belum seutuhnya. Tante Nurma, Alya, dan Kak Mala, kakak kandung Alya, tiba-tiba datang menghampiriku. Tangan mereka menggenggam tas-tas yang tampak berat. Raut muka Alya seperti sedang memendam sesuatu.
“Indah, aku mau pamit sama kamu. Aku, Mama, dan Kak Mala mau balik ke Kalimantan. Kamu baik-baik ya di Jogja.” Mataku tidak bisa menahan tangis. Hatiku rasanya sudah terpecah belah menjadi kepingan-kepingan kecil. Aku harus kehilangan Alya, seorang teman baik yang selalu menemaniku setiap pulang dari TK. Orang yang membuat hidupku tidak terasa hampa. Menghiasi setiap detik waktu yang berjalan. Memberikan sejuta kenangan yang tidak mungkin aku lupakan begitu saja.
Tidak hanya aku, Alya pun tidak dapat memendam kesedihannya dalam-dalam. Dia ikut meluapkan emosi yang sedang bergejolak dalam dirinya. Pipinya basah, sama sepertiku. Kami berpelukan dan tidak ingin terlepas. Kita memang tidak berpisah untuk selamanya, tapi karena suatu hal yang sudah biasa kami lakukan bersama setiap harinya, justru menjadi suatu hal yang begitu berharga, maka kami sama-sama sulit untuk melepaskannya. Kami harus mengubah kebiasaan hidup kami nantinya.
“Kamu jangan sedih, Ndah. Aku janji kok, besok waktu kita sama-sama udah SMA atau kuliah, aku bakal balik ke Jogja lagi buat ketemu kamu.” Kelingking Alya diajukan ke arahku, aku pun menyatukan kelingkingku dengannya.
“Janji ya, kamu jangan lupain aku. Walaupun kamu udah banyak temen baru di sana.” Dia mengangguk. Kami saling mengusap pipi kami yang basah. Lalu dia melambaikan tangan, aku juga membalasnya dengan masih berat hati. Alya dan keluarganya masuk ke dalam mobil kemudian pergi.
Sejak saat itu, aku hilang kontak dengan Alya. Nomor telepon yang pernah diberikan Tante Nurma kepada mamaku tidak bisa dihubungi lagi. Sampai saat ini aku masih mengingat janji Alya. Aku terus menunggu datangnya di hadapanku. Entah dia masih mengingat janji itu, atau sudah lupa akan segala yang pernah kami lewati bersama.
Bagaimana wajah Alya sekarang? Seberapa tinggi badan dia sekarang? Apa dia lebih tinggi dariku? Bagaimana keadaan sekolahnya di sana? Bagaimana teman-temannya di sana? Apa mereka mampu membuat Alya bahagia? Aku hanya berharap waktu akan menjawab semua pertanyaan yang terus muncul dari pikiranku. Aku masih menunggu kehadiranmu di Jogja, Alya.

By: Anggita Nurindah K.
(Based on true story)

Selasa, 23 Februari 2016

Come Back

Udah dua tahun lebih blog ini nggak keurus. Sampek penuh usang dan berdebu. Vacum dari dunia tulis menulis selama setahun lebih itu nggak enak banget. Rasanya jadi kaku kalo mau balik lagi ke dunia sastra. Mau nulis sesuatu, tapi idenya nggak ngalir lancar. Kalo nggak nulis, pengennya ya nulis.
Sekadar membuka cerita dari hilangnya pemilik blog ini selama dua tahun. Dulu, awalnya aku istirahat dari dunia sastra karena mau fokus ke UN dulu. Terakhir ikut lomba menulis itu waktu tahun 2015, yaitu Lomba Menulis Artikel se-Kota Yogyakarta. Sebenernya cuma iseng ikut aja, soalnya buat refreshing menuju Ujian Nasional. Alhasil alhamdulillah karyaku itu masuk 10 besar. Gak nyangka. Ya, nggak nyangka banget bisa masuk sampek 10 besar, meskipun nggak jadi 3 besar tapi rasanya udah bahagia aja. Soalnya itu lomba pertama yang aku ikuti setelah setahunan nggak bikin karya sastra sama sekali.
Terus sekarang, tiba-tiba udah dua tahun aja kelewat, lebih sebulan malah. Dan inilah saat-saat di mana rasanya galau banget. Pengen lanjut hobi nulis kayak dulu tapi kok ya ada rasa males. Kadang giliran udah niat, malah gak nemu ide buat nulis, kan jadinya males lagi. But okey gapapa, aku bakal berusaha buat balik lagi ke dunia sastra kayak dulu. Nggak males-malesan dan segera nemu ide nulis. Ini sebenernya cuma sebuah curhatan yang aku harap bisa jadi pembuka biar keinginan nulisku kian bertambah.

FYI: Bagi yang punya hobi nulis atau hobi apapun itu, kalo bisa tetep luangin waktu buat mengekspresikan hobi kalian meskipun cuma sebentar. Karena sekali berhenti rasanya jadi kayak keterusan. Nah kalo udah kecanduan berhenti, rasanya jadi males-malesan. Kalo udah terlanjur males-malesan, susah deh buat balik ke hobinya. Saran aja sih buat yang mau disaranin hehe.

Keep spirit!

Kamis, 16 Januari 2014

Buku Antologi Puisi dan Cerpen: Setangguh Pipiet

Alhamdulillah muncul lagi buku antologi yang memuat Flash Fiction atau Cerpen (yang lebih singkat) karya Anggi. Lebih bahagianya lagi adalah karena karya Anggi menjadi pemenang utama dalam event pembuatan buku ini. Dan berikut deskripsi bukunya!


Judul: SETANGGUH PIPIET 
Tebal: v+82 halaman; 13x19 
Penulis: Grup Aku Anak Rantau 
ISBN: 978-602-17826-5-1
Harga: Rp 28,000 (sudah ongkir) 
UNTUK PESANAN: SILAKAN HUB 082325394744 ATAU INBOX 2A DREAM PUBLISHING.

Epilog: 
Membaca postingan Mahfudz dari Malaysia, tentang acara pengumpulan dana untukku, sungguh membuatku sangat terpengarah. Tak pernah mengira bahwa perkenalan singkat, jumpa dalam acara ‘Berbagi Ilmu Menulis dengan TKI Malaysia 2011, ternyata mengikatkan simpul silahturahim yang sangat kuat. Baik di antara diriku dengan para perempuan tangguh, TKI Malaysia, maupun antar sesama perantau. 
Tanpa sadar air mata terus meleleh setiap kata demi kata, larik demi larik dalam antologi kasih sayang ini. Tiada kata lain kecuali rasa terimakasih yang mendalam. Rasa syukur atas persaudaraan yang penuh ikhlas ini. Anak-anakku sayang, aku yakin, kalian bisa menulis karya hebat! [Pipiet Senja, novelis Indonesia, Emaknya BMI]
~**~

KONTRIBUTOR DALAM BUKU 'SETANGGUH PIPIET'

Puisi: 
1. Suryani Rinz 
2. Anung D’Lizta 
3. Kepompong Pijar
4. Erna S.A
5. Aldy Istanzia Wiguna
6. Radindra Rahman
7. Agung Yuli TH
8. Widia Aslima
9. Mulyoto M 
10. Arista Devi
11. Alqiez Yumie
12. Ade Ubaidil
13. Airi J Maloloh
14. Lauh Sutan Kusnandar
15. Triana Ratih
16. Dik Meme Love
17. Umirah Ramata
18. Mauliza 
19. Faihah Zahrah
20. Tria Oktiana
21. Wella Eka S
22. M Yusuf A
23. Jay Wijayanti
24. Nenny Makmun

Flash Fiction/ Cerpen
1. Jay Wiyanti
2. Mulyoto M
3. Erna SA
4. Rusdi el Umar
5. Mimut’z Lieg
6. Anggita Nurindah K.
7. Wella Eka S

Endorsment: 
1. Dang Aji Sidik 
2. Nessa Kartika 
3. Nenny Makmun
4. Kepompong Pijar 
**** 

EPILOG: Langsung dari Bunda Pipiet Senja