Anggita Nurindah Kusuma

TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR =)

Selasa, 15 Maret 2016

Janji yang Tak Kunjung Terjadi


Rerintik hujan menderu dikala siang itu. Jilbabku menari mengikuti arah angin berlari. Aku menghirup udara dalam-dalam, lalu kuhempaskan dengan keras. Mataku berkeliling, menatap setiap titik air yang jatuh bersahutan. Sesekali aku memejamkan mata, membayangkan sesuatu yang membuatku bisa bahagia. Meskipun hanya khayalan belaka, setidaknya itu mampu membuat pikiranku terasa lebih segar.
“Fin, ayo lari bareng.”
“Ayo! Satu, dua, tiga!”
Selalu saja dua orang gadis itu yang kulihat, setiap kali aku memandang suasana lantai bawah. Kali ini mereka berpegangan tangan, berlari dengan hati-hati. Mulut mereka menganga dan mengeluarkan suara tawa. Matanya tersenyum sebentuk bulan sabit. Raut wajah mereka tidak dapat menipuku, aku tahu bahwa mereka sedang bahagia.
Aku ingin seperti mereka, tetap bersama walaupun hujan menerjang dengan kencang. Angin yang terus berhembus pun tetap tidak dapat menggoyahkan kebahagiaan mereka, atau mungkin lebih tepatnya persahabatan mereka. Bahkan persahabatan merekalah yang mampu menaklukan angin dan hujan. Aku jadi teringat bahwa aku pernah mengalaminya.
***
“Indah, mau jajan itu nggak?” ajak Alya, seorang gadis ceria yang menjadikan hidupku lebih berwarna.
“Mau! Tapi aku nggak bawa uang, Ya. Tadi aku keburu-buru jadi lupa deh bawa uang saku.”
“Ya udah pake uangku dulu aja, Ndah. Tapi besok kalo aku yang enggak bawa kamu ya yang nraktir aku,” Alya menjulurkan lidahnya.
“Siap!” jawabku sembari mengacungkan ibu jari.
Kami kembali menyusuri jalan usai berhenti di sebuah warung untuk membeli jajan. Di sepanjang jalan, selalu ada canda gurau yang menghiasi. Suasana yang sebenarnya sunyi seketika berubah menjadi riuh. Riuh akan suara tawa kami. Aku jadi merasa bahwa dunia ini tak pernah sepi.
“Wah, Indah sama Alya udah sampai ya. Sini ambil nasi, makan siang dulu,” suara lembut Tante Nurma menyambut kedatangan kami. Tante Nurma adalah sosok yang paling berjasa dalam hidup Alya. Dia yang mengarungi kehidupan keluarganya dengan banting tulang, sendirian.
“Oke, Tante,” sahutku dengan tersenyum. Tante Nurma pun kemudian memberikan kami berdua sepiring nasi yang porsinya cukup banyak. Aku dan Alya memang terbiasa makan sepiring berdua, kami merasa menjadi semakin dekat ketika makan bersama dengan sebuah piring saja.
“Ayo, Ndah, kita keluar, main kejar-kejaran. Ngajak Hana sama Ima juga.”
“Ayo! Tapi nanti yang ketangkap harus pijet punggung yang menang lho ya.”
“Boleh, siapa takut. Paling juga aku yang menang,” Alya menjulurkan lidahnya panjang-panjang, meledekku karena aku yang biasa kalah lari darinya.
Langkah kaki kami terus terhentak, dan sesekali berhenti setelah sampai di depan rumah yang kami tuju. Setelah semuanya berkumpul, kami berempat hompimpa untuk menentukan siapa yang akan menjadi kucing dan tikusnya.
Yes! Aku jadi kucing,” ucapku dengan puas.
“Kita satu tim, Ndah,” sahut Ima. Aku dan Ima lalu memulai lari dengan hitungan, “Satu, dua, tiga, lari!” teriak kami serempak. Kami terus berlari dengan sekuat tenaga untuk mengejar Alya, si pelari cepat.
“Hayoo, Alya mau ke mana? Kamu udah nggak bisa lari lagi. Udah nyerah aja,” kataku menghasutnya. Alya sudah mulai terlihat lelah, terlebih ketika dia sudah berada di dalam kepunganku dan Ima. Kemudian aku melangkahkan kaki beberapa meter dari arah belakangnya. Dia membalik badan.
“Brukk!” Alya menangis dengan sangat kencang. Dia terjatuh karena terkejut sesaat tahu bahwa aku mendekatinya diam-diam. Jidatnya luka, darahnya berkucur tiada henti. Tanganku seketika gemetaran. Kakiku kaku, seperti tidak mampu lagi diampu. Pikiranku buyar, melihat kondisi Alya yang membuat hatiku miris. Tante Nurma segera membawanya ke dokter, sedangkan aku tidak dapat berkutik. Tubuhku roboh, tulang-tulangnya seperti sudah remuk dan rapuh.
Detik demi detik. Menit demi menit. Jarum jam berputar hingga waktu sudah berlalu satu jam. Alya beserta Tante Nurma tiba di rumah mereka. Aku bergegas menghampirinya. Tetapi di sisi lain aku juga ragu, aku takut Alya tidak mau lagi menerimaku sebagai temannya karena kesalahan fatalku tadi.
“Indah, sini masuk kenapa kamu di luar sendirian gitu?” matanya tersenyum ke arahku. Wajahnya kembali berbinar, disertai bibir manisnya yang melengkung ke atas. Dia tetap cantik, walau terdapat jahitan di jidatnya. Aku lalu berlari memeluknya.
“Maaf ya, aku tadi enggak sengaja bikin kamu kaget kayak gitu,” air mataku terjatuh. Alya kemudian menyahut, “Iya, enggak apa-apa kok, lihat deh aku baik-baik aja,” dia mengelus punggungku dengan halus.
***
Yogyakarta, 27 Mei 2006
“Gempa! Gempa!” suara gaduh terdengar jelas dari kamarku. Lemari, meja, dan seluruh benda di kamarku bergoyang dengan kencang. Tubuhku juga tidak seimbang, seperti terseret ke arah kanan dan kiri, terombang-ambing. Aku dan anggota keluarga yang lain tetap berjalan ke luar rumah meski sebenarnya masih menyimpan rasa panik. Suasana luar tampak kacau, bangunan runtuh dan beberapa jalanan tertutup tembok-tembok besar. Orang-orang panik, banyak suara tangis, dan teriakan minta tolong.
Beberapa jam terlewati tanpa terasa. Keadaan perlahan kembali normal, walaupun suasananya masih berantakan. Rasanya hatiku sudah menuju pulih, meski belum seutuhnya. Tante Nurma, Alya, dan Kak Mala, kakak kandung Alya, tiba-tiba datang menghampiriku. Tangan mereka menggenggam tas-tas yang tampak berat. Raut muka Alya seperti sedang memendam sesuatu.
“Indah, aku mau pamit sama kamu. Aku, Mama, dan Kak Mala mau balik ke Kalimantan. Kamu baik-baik ya di Jogja.” Mataku tidak bisa menahan tangis. Hatiku rasanya sudah terpecah belah menjadi kepingan-kepingan kecil. Aku harus kehilangan Alya, seorang teman baik yang selalu menemaniku setiap pulang dari TK. Orang yang membuat hidupku tidak terasa hampa. Menghiasi setiap detik waktu yang berjalan. Memberikan sejuta kenangan yang tidak mungkin aku lupakan begitu saja.
Tidak hanya aku, Alya pun tidak dapat memendam kesedihannya dalam-dalam. Dia ikut meluapkan emosi yang sedang bergejolak dalam dirinya. Pipinya basah, sama sepertiku. Kami berpelukan dan tidak ingin terlepas. Kita memang tidak berpisah untuk selamanya, tapi karena suatu hal yang sudah biasa kami lakukan bersama setiap harinya, justru menjadi suatu hal yang begitu berharga, maka kami sama-sama sulit untuk melepaskannya. Kami harus mengubah kebiasaan hidup kami nantinya.
“Kamu jangan sedih, Ndah. Aku janji kok, besok waktu kita sama-sama udah SMA atau kuliah, aku bakal balik ke Jogja lagi buat ketemu kamu.” Kelingking Alya diajukan ke arahku, aku pun menyatukan kelingkingku dengannya.
“Janji ya, kamu jangan lupain aku. Walaupun kamu udah banyak temen baru di sana.” Dia mengangguk. Kami saling mengusap pipi kami yang basah. Lalu dia melambaikan tangan, aku juga membalasnya dengan masih berat hati. Alya dan keluarganya masuk ke dalam mobil kemudian pergi.
Sejak saat itu, aku hilang kontak dengan Alya. Nomor telepon yang pernah diberikan Tante Nurma kepada mamaku tidak bisa dihubungi lagi. Sampai saat ini aku masih mengingat janji Alya. Aku terus menunggu datangnya di hadapanku. Entah dia masih mengingat janji itu, atau sudah lupa akan segala yang pernah kami lewati bersama.
Bagaimana wajah Alya sekarang? Seberapa tinggi badan dia sekarang? Apa dia lebih tinggi dariku? Bagaimana keadaan sekolahnya di sana? Bagaimana teman-temannya di sana? Apa mereka mampu membuat Alya bahagia? Aku hanya berharap waktu akan menjawab semua pertanyaan yang terus muncul dari pikiranku. Aku masih menunggu kehadiranmu di Jogja, Alya.

By: Anggita Nurindah K.
(Based on true story)